Aku punya
seorang kenalan, namanya Yadi. Kami sudah kenal lebih dari 10 tahun. Walaupun
telah kenal lama, aku tak bisa menyebutnya sebagai teman. Ya, karena kami hanya
sebatas kenal saja. Saya tidak pernah memberinya hutang, datang ke pesta ulang
tahunnya atau berkunjung ketika ayahnya meninggal. Tak ada kasih sayang atau
peduli layaknya teman.
Kami sering
bertemu, bisa dibilang lebih sering dari orang yang kalian anggap teman atau
sahabat. Kami bertemu setiap hari tanpa libur. Tempat mangkal kami adalah
warung kopi di perempatan dekat rumahnya. Yang kami lakukan hanyalah mengobrol
dan berdebat mulai dari jam delapan sampai sepuluh malam. Berdebat apa saja
tergantung isu hangat yang disiarkan dua stasiun televisi ber bos besar.
“Pendapat mu
betul, tapi bukankah kita selaku orang miskin mestinya lebih peduli dengan
orang segolongan kita?” tanya Yudi pada ku di sela-sela derik jangkring malam
itu.
Itulah yang
sering di katakan lelaki jangkung itu ketika alur logika ku benar, Kamu betul. Aku benci kata-kata itu, kamu betul, lalu kalau aku betul kenapa
mesti dibantah. Kenapa tak ia dengar saja omonganku.
Kata-kata itu
juga sering diucapkan oleh ayah ku ketika aku dan kakak ku berkelahi, Kamu betul. Suatu malam aku pernah
berkelahi dengan kakak ku. Aku perlu belajar malam itu karena besok ada ujian.
Sedangkan kakak bersikeras untuk mematikan lampu karena ia perlu
tidur lebih awal. Ia menghinaku karena malas belajar sehingga mesti belajar
sistem kebut semalam. Dan ia menolak keras usulan ku agar ia tidur di ruang
tamu karena di luar banyak nyamuk. Sesaat setelah berkelahi, ayah ku datang
melerai lalu menginterograsi kami satu persatu.
“kamu betul, tetapi…
“ itulah ucapan ayah ketika mengambil kesimpulan dan memberikan solusi bagi
kami berdua.
Aku selalu benci
mendengar kata itu. Kalau aku betul, kenapa kata-kata itu selalu diiringi
dengan tetapi. Lagian, kalau kami
berdua betul buat apa kami berkelahi. Ah, ini logika yang salah. Tak bisa dua orang
bisa betul bersamaan. Pasti ada yang salah. Sama seperti ada langit ada bumi.
Ada atas, ada bawah. Ada perempuan, ada laki-laki. Jika ada yang betul, pasti
ada yang salah.
Obrolan ku
dengan Yudi pun sering kali berakhir seperti itu. Walaupun tak ada kontak
fisik, sering kali kami pulang dengan hati membara. Tak ada yang mau mengalah.
Lagian dia sudah bilang aku betul, buat apa aku mengalah. Dasar gila.
Malam itu kami
berdebat mengenai keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Aku memilih setuju
dengan keputusan itu karena uang sebanyak itu mestinya tak dibuang di knalpot
kendaraan bermotor setiap hari. Banyak hal yang bisa dibangun dari uang itu.
Sedangkan Yudi selalu saja berpendapat bahwa kebijakan itu tak berpihak kepada
rakyat kecil seperti kita. Ia selalu membawa-bawa tukang bakso, supir angkot,
dan Mak Ijah penjual gorengan dalam obrolannya.
“Ah, Yud. Kalau
begitu cara berpikir mu bagaimana bisa maju negeri ini?. Bukannya uang subsidi
yang dialihkan ke pembangunan juga tujuannya untuk rakyat miskin?,” balasku tak
setuju
“iya, kamu
betul, tapi….”
Belum selesai
kalimatnya, aku pun cepat-cepat memotong, “kalau aku betul, kenapa mesti
dibantah lagi?”
“Karena pendapat
aku juga betul”
“Kalau aku betul
dan kau betul, lalu buat apa kita berdebat?"
“Bubar Bubar, ”
teriak penjaga warung di sudut ruangan
No comments:
Post a comment