“Abang suka nulis ya?” tanyanya dengan lembut
di suatu sore cerah di kantin kampus. Bagiku dia cukup cantik.
Dengan pakaiannya yang serasi dan senyum manis diwajahnya, saya ragu akan ada
lelaki yang tidak menyukainya.
“Suka
sih dek, tapi cuma gitu-gitu aja. Kalau lagi pas kepala nulis, kalo gak ya gak.
Itu pun nulisnya cuma di blog”, jawabku seadanya sambil memandang gelas yang isinya hampir habis.
“Oh
adek suka tulisan abang yang di blog, abang pinter ya nulisnya”, lanjutnya
dengan kelembutan suara yang menentramkan.
Tau
bahwa orang yang dicinta ternyata juga perhatian pada tulisanku di blog.
Hatiku melambung. Aku pernah menulis sesuatu di blog secara samar untuknya dan
berharap dia pun membaca. Dengan penasaran aku pun bertanya, “adek baca semua
tulisan abang di blog?”
“iya
bang semua, dari pertama kali abang buat blog sampe sekarang. Adek cek sesekali
blog abang. Siapa tahu ada tulisan baru”, jawabnya dengan senyum malu-malu
menggemaskan.
Aku
tak langsung membalas. Aku terpana karena kaget dan bingung. Ah, ternyata dia
baca tulisanku semua. Termasuk tulisan samarku untuknya. Pikiranku berkelana,
apakah dia tau bahwa salah satu tulisanku untuknya. Kalau dia tau, kenapa dia
bersikap biasa saja.
“Kenapa
abang gak buat buku aja, tulisan abang bagus-bagus kok, 95 persen dari tulisan
abang adek suka”, katanya menyarankan tiba-tiba.
“Abang
belum punya kemampuan khusus dek untuk nulis, nulis cerpen aja gak pernah
apalagi novel”, balas ku seadanya. Aku tak begitu yakin dengan idenya. Bagiku,
aku belum mampu untuk mengarang buku.
“Buat
lah terus bang bukunya. Abang pintar, pasti bisa. Seandainya abang malas, buat
lah buku itu demi adek bang”, pintanya memelas.
“Adek
mau abang buat kan buku?”
“Iya
bang, buat terus bang ya….”
“kalau
demi adek abang mau buat buku…”
“Ih,
yang betul bang? serius nih.… ” tanya nya dengan penuh keriangan.
“Iya
demi adek”
Dengan
suka cita iya menatap wajahku lalu berkata, “kalau abang udah selesai nulisnya, kasih liat
adek ya hasilnya sebelum dikasih ke penerbit, adek bantuin edit!”
“Gak
perlu di edit kok bukunya”, jawabku dengan senyum
“Loh
kok gitu?”
“Ya
karena memang begitu. Abang cuma perlu persetujuan adek kok untuk buat buku
ini”
“Buat
apa persetujuan adek? emang abang mau buat buku apa sih?”
“Buku
nikah sama adek, adek mau?” jawabku dengan senyum mengembang.
“ini
serius apa becanda?”. Ketika bertanya itu, senyum manisnya menghilang,
terganti dengan tatapan penuh keseriusan.
“serius”,
jawabku mantap.
“Adek
mau, tapi minta dulu sama ayah adek”, jawabnya dengan ekspresi wajah yang sama.
Beberapa menit kemudian, senyum kami mengembang penuh arti.
****
Hahaha,
alah lai, leh peu ku tuleh.
No comments:
Post a comment