![]() |
www.titahsurga.com |
“Bluk, ” buku itu berbunyi begitu keras ketika
menghantam permukaan meja. Di sebelah Fani, sang adik berkacang pinggang dengan
nafas tersengal-sengal.
“Aku benci mereka kak,” ucap Lisa
bernada tinggi pada kakaknya yang tengah berleha-leha membaca majalah mingguan
di ruang tamu.
Fani, sang kakak yang masih duduk
di bangku kuliah terkejut dua kali pada saat bersamaan. Setelah buku yang
dilempar mendadak di depannya, sekarang adiknya marah-marah tak jelas.
“Maksudnya apa ini? benci sama siapa? Kenapa mesti lempar buku segala?”
“Maksudnya apa ini? benci sama siapa? Kenapa mesti lempar buku segala?”
Buku yang baru saja dilempar Lisa
berjudul Sheila: Kenangan yang
hilang. Novel Karangan seorang psikolog pendidikan, Torey Hayden. Novel
ini Bercerita tentang hubungan seorang mantan guru dengan siswa masa kecilnya
yang bermasalah dan kini telah beranjak dewasa. Karena merasa novel ini sangat bagus,
Fani meminjamkan buku ini kepada adiknya beberapa hari yang lalu.
“Aku benci ayah dan ibu, aku
benci mereka,” jawabnya dengan nada
yang tetap meninggi dan setengah berteriak. Sekilas Fani dapat melihat mata
sembab adiknya bertanda ia baru saja menangis.
“Astaghfirullahhalazim, gak boleh
ngomong gitu! Itu kan orang tuamu, lagian kenapa bisa tiba-tiba marah gitu?
Tarik nafas panjang-panjang dulu, sini duduk di samping kakak”, bujuknya
dengan suara menenangkan. Pengalaman bertahun-tahun mengajarkan Fani untuk
lebih bersikap lembut dan keibu-ibuan pada adiknya.
“Mereka yang buat aku gini kak! ayah
sama ibu, mereka yang buat aku gak maju-maju!” jawabnya terburu-terburu. Begitulah Lisa ketika marah, mulutnya lebih aktif bekerja dibandngkan telinganya.
Sifatnya ini cukup dipahami oleh
sang kakak. Adiknya kurang bisa dipahami ketika sedang marah. Baginya, ini
seperti musik berisik yang sama namun dengan lirik yang berbeda. Ia tau cara
mengatasinya. Fani menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, lalu bangkit berdiri dengan
senyum termanis yang bisa dibuatnya, “Lisa duduk dulu tenangkan diri, kakak
buatin teh hangat dulu ya....”
Fani sengaja berlama-lama membuat
teh di dapur untuk memberikan waktu pada adiknya menenangkan diri. Ketika
kembali, ia mendapati adiknya duduk di kursi. Lisa terlihat lebih tenang
sekarang. Atau lebih tepatnya sedang melamun.
“Kakak udah baca buku ini kan?” katanya sambil menunjuk
buku yang dilemparnya tadi.
Fani beranjak duduk di samping adiknya,“Iya udah, terus
kenapa?”
“Aku merasa kalau Sheila ini aku banget kak”
“Nah loh, kok bisa?” tanya Fani keheranan
“Bisa lah, sebab aku merasa ibu
dan ayah mendidik kita terlalu keras dulu. Aku dulu inget banget salah dikit
langsung dipukul sama ayah. Malah aku pernah nangis berjam-jam abis dimarahin
ayah di depan teman-teman. Rasanya maluu banget. Kalo ibu sama aja kayak ayah,
walaupun gak mukul, kalau marah suaranya cerewet bukan main. Jujur kak, dulu
aku sempat malu banget punya keluarga yang kayak gini,” jawab Lisa dengan nada
lirih.
“Iya, tapi sekarang kan gak lagi.
Ayah dan ibu tau kok kamu udah gede, udah SMA, gak mungkin mungkin dipukul lagi”.
“Itulah masalahnya kak, walaupun
sekarang udah gak kayak dulu lagi, tapi dari buku ini aku tau banget kalo sikap
pemalu, pendiam dan pengecut yang aku punya adalah bekas dari masa lalu waktu
aku sama kakak sering dimarahin dan
dipukul, kakak ngerasa juga kan?"
“Iya juga sih, tapi…., ” Sedikit banyak Fani juga mengakuinya. Ia
memang sering dipukul oleh Ayah kalau berbuat kesalahan waktu kecil dulu.
Bedanya Lisa memang lebih sering dipukul karena ia agak sedikit susah diatur
waktu kecil. Tapi kan itu dulu, Fani merasa ayahnya tidak lagi mendidik dengan
cara yang sama sekarang.
“Nah kan, gitu juga Aku Kak, Aku
dan Kakak sama kayak Sheila dalam buku ini. Buku ini secara gak langsung bilang
kalau kurangnya kemampuan sosial Sheila dan masalah emosi yang dialaminya disebabkan
oleh didikan keras dan kurang kepedulian waktu masa kecilnya. Aku juga ngerasa
gitu kak, kadang-kadang aku ngerasa iri banget sama temen-teman lain yang
berani dan pede-nya bukan main waktu ngomong di depan kelas. Aku juga cepet
banget marah, sama kayak Sheila. Dan ini karena mereka! Karena Ayah dan Ibu
mendidik kita dengan otoriter!”
“Tapi ayah dan ibu gak sama kayak
tokoh Ayah dan Ibu nya Sheila di buku itu Lisa, Mereka…,”
“Mereka sama aja kak, mereka
sering mukul dan marah-marah!” Bantah Lisa
“Tapi kan mereka mukulnya bukan
tanpa alasan, sekarang mereka sadar banget kalau kita udah gede dan gak pantes
dipukul lagi. Pukulan mereka itu atas dasar kasih sayang”, jawab Fani setenang
mungkin.
“Iya, tapi kan perkembangan masa
kecil itu penting kak, semestinya mereka gak mendidik keras waktu kita kecil!"
“Iya, tapi kondisi kita kan berbeda dari novel itu…., ”
“Mereka kan seharusnya tau, mereka kan orang tua. Kalau
mereka gak siap, ngapain berumah tangga?”
“Ya Ampun, Lisa! Gak boleh ngomong gitu!”
“Habis kakak gak mau dengerin Lisa...”
Fani hampir saja marah, terlepas
dari apapun yang terjadi, tak pantas seorang anak memaki orang tuanya. “Dengerin
kakak Lisa, kalau Lisa mau pahami buku itu secara luas dan gak mengaitkan
terlalu dalam dengan keadaan Lisa sekarang. Lisa akan tau kalau kita semua, Lisa,
kakak, ayah dan ibu sama persis kayak Sheila”
“Maksudnya kak? ” tanya Lisa
“Maksudnya, kita semua ini terpengaruh
oleh lingkungan. Tentang buku yang Lisa baca itu, kalau Lisa bisa paham segala penyebab
sikap bermasalah Sheila, kenapa Lisa gak mau paham sikap bermasalah ayah Sheila
sehingga mendidik anaknya dengan kurang tepat?”
“Ngapain pahamin orang dewasa? Dia kan udah gede, lagian dia
kan udah jadi seorang ayah, kenapa gak mau belajar didik anak yang bener?”
“Itulah masalahnya Lisa…, ”
“Apa?”
“Sheila bersikap bermasalah
karena ada sebabnya kan? Begitu juga ayahnya, dari yang kakak baca di buku itu,
dia juga punya masalah sendiri yang mempengaruhi hidup nya. Hal ini juga
mempengaruhi hidup Sheila karena dia anaknya. Dia punya masalah dengen
ketergantungan alkohol dan narkoba, keluar masuk penjara, ditinggal istri dan
anak laki-lakinya. Kerasnya hidup yang dilalui ayah Sheila tak mengajarkan
untuk mendidik anak dengan benar. Bagaimana dia bisa mendidik anaknya dengan
benar kalau pikirannya saja hanya terpaku
pada bagaimana cara mendapatkan narkoba dan alkohol? Bagaimana ia bisa
memberi kasih sayang kepada Sheila kalau ia tak pernah menerimanya? Di tengah
tekanan hidupnya, ia hanya tau satu cara untuk membungkam anaknya yang nakal,
mencambuknya...”
“Iya, tapi kan sikapnya tetap gak
bener sama anaknya…,” jawab Lisa dengan datar dan cenderung untuk dirinya
sendiri. Ia sedang mencerna perkataan kakaknya.
“Betul Lisa, tapi terlepas dari
kejamnya ia berprilaku pada anaknya, sikapnya bukan tanpa alasan dan sebab.
Bukan karena ia menikmati setiap cambukan yang diberikan ke Sheila. Jalan
hidupnya yang keras lah mengajarkannya untuk mendidik anak secara keras pula.”
“Iya, tapi ayah dan ibu kan gak
sebermasalah ayah Sheila. Ayah dan ibu gak keluar masuk penjara. Gak ada alasan
buatnya didik kita waktu kecil dengan keras.”
“Mereka sama Lisa, mereka
sama-sama terpengaruh lingkungan dan orang sekitar. Kerasnya didikan ayah
Sheila pada anaknya karena kejamnya kehidupan yang ia jalani. Sedangkan
kerasnya didikan ayah dan ibu kepada kita karena begitulah yang ia pelajari
dari kakek nenek. Lisa sering kena marah juga kan sama kakek?” Tanya Fani, ia
merasa adiknya sudah paham.
“Hehe, iya”
Fani tersenyum, “kalau Lisa mau
marah, jangan marah ke ayah dan ibu, marah aja ke kakek nenek. Emangnya kamu
berani marah ke kakek?”
“Hahahaha, egak lah”, jawab Lisa
dengan tawa merekah. Ia menyentuh tangan kakaknya dengan lembut. Baginya
kakaknya merupakan satu-satunya orang yang paling paham atas segala masalah
yang ia alami.
“Kalau Lisa bisa memahami sikap
tokoh dari sebuah buku yang Lisa pun gak kenal, seharusnya Lisa juga mau
memahami sikap ayah dan ibu. Orang tua Lisa sendiri, ya kan? ”
No comments:
Post a comment