Dulu ketika masih
tinggal di Depok, ada satu kejadian aneh yang bikin ummi dan aku lari
terbirit-birit masuk ke dalam rumah. Kisahnya tidak bermula di malam itu. Namun
berawal dari jatuh sakitnya tetangga di depan rumah beberapa bulan sebelumnya.
Ibu yang tiba-tiba sakit ini tinggal tepat di depan rumah kami bersama
keluarga, orangtua dan keluarga dari adik dan kakaknya. Hanya rumah besar merekalah
yang menjauhkan mereka dari kesan kemiskinan.
Pada suatu pagi
tiga bulan sebelum malam itu, terjadi kegaduahan di rumah depan rumah kami
karena Si Ibu depan rumah menjerit kesakitan setelah terjatuh dari kamar mandi.
Seingat ku, beliau di vonis terkena penyakit diabetes setelah berkunsultasi
dengan dokter. Mula-mulanya beliau masih bisa berjalan. Namun karena tak
kunjung ke rumah sakit dengan alasan keuangan dan keengganan ibu itu sendiri,
penyakit yang diseritanya seolah merayap membekukan tubuhnya. Sebulan setelah
serangan itu, Si Ibu hanya hanya bisa terbaring di kasur dalam kamarnya.
Mula-mulanya ia
hanya tak mampu menggunakan kaki untuk menopang tubuhnya. 2 Minggu kemudian, Si
Ibu tak mampu lagi membalikkan tubuhnya jika ia tak nyaman lagi dengan posisi
tidurnya. Untuk beberapa saat, hanya mulutnya lah yang bisa digunakan untuk
meminta pertolongan ibunya dan anggota keluarga lain. Beberapa minggu kemudian
mulutnya kelu, hanya auman hurup O dan A berkepanjangan yang mampu ia gunakan
untuk memanggil orang sekitar. Sekitar sebulan lebih, auman memilukan itulah
yang terdengar oleh para tetangga dan penghuni rumah itu baik siang, pagi
maupun malam.
Lalu sepulang
sekolah, semuanya berakhir. Si Ibu yang telah lama sakit menghembuskan nafas
terakhirnya. Tahlilan selama 7 hari setelah orang meninggal pun digelar. Selama
seminggu itupun lingkungan kami menjadi lebih ramai dengan datangnya
orang-orang yang pergi melayat. Setelah itu, semuanya kembali seperti biasa.
Karena di rumah ku ada warung, maka pintu rumah kamilah yang paling telat
ditutup setiap malamnya. Satu malam seminggu setelah meninggalnya Si Ibu di
depan rumah, aku dan Ummi sedang duduk-duduk di teras. Kala itu suasananya
sepi, tak terkecuali rumah di depan rumah kami. Yah maklum, jam sudah
menunjukkan pukul setengan 12 malam.
Mula-mula, obrolan
aku dan ummi terputus karena tiba-tiba ummi diam disela omongannya. Ia
menerawang sebentar, memandang sesaat ke rumah sepi di depan rumah lalu
melanjutkan kembali topik pembicaraannya. Aku tak bertanya karena lebih
tertarik agar ummi melanjutkan kembali ceritanya. Sesaat setelah obrolan
kembali dilanjutkan, kami berdua mendengar sesuatu yang semestinya tak lagi kami
dengar. Suara “aaaaaaaaaa” berkepanjangan yang telah akrab beberapa bulan
sebelumnya kembali bersuara. Pada auman pertama kami hanya bergidik tanpa
bergerak. Aku bertanya, “Ummi dengar gak?”. Sebuah pertanyaan bodoh karena aku
tau dari ekspresinya bahwa ummi juga ketakutan dengan ayat-ayat syahdu yang
keluar dari mulutnya. Lalu tanpa pikir panjang, kami pun lari terbirit-birit
hingga terjatuh masuk ke rumah ketika auman ke dua kembali bergema.
Secara logika,
anda-anda para pembaca mungkin berkata bahwa ada orang iseng dari dalam rumah
yang bercanda dengan meniru suara auman itu. Ya sih, mungkin saja. Tapi bagi
kami yang mendengarnya, hal itu terasa aneh karena siapa yang mau becanda di
suasana duka yang belum hilang semua? Apalagi jika candaan itu dilakukan oleh keluarganya sendiri dari dalam rumah
No comments:
Post a comment