Di luar kebiasaan, itulah kata
yang bisa menjabarkan kejadian yang berlangsung pagi ini. Kejadian yang membuat
sebagian dari orang yang mengenal saya terheran-heran dengan tingkah laku saya
yang lain dari pada yang lain hari ini.
Pagi ini saya berkelahi.
Awal mulanya saya kira Si Abang Leting
hanya sedang iseng saja. Minggu lalu saya juga pernah diperlakukan dengan kasar
olehnya, bahkan sebelumnya pun pernah. Bagi saya sendiri hal itu normal
mengingat bahwa ia memang sangat menjunjung tingkat senioritas di asrama. Bagi
si abang leting, tak peduli sudah berapa umur adek letingnya, ia tetap merasa
berhak untuk melakukan perploncoan. Kalau tingkah plonco nya itu kambuh, biasanya
saya akan diam saja atau tak memperdulikan daripada timbul keributan.
Lalu pagi tadi, saya sudah sangat
bersikap manis padanya ketika bertemu di parkiran untuk pergi beli nasi pagi.
Sifat plonconya kambuh dengan menggertak beberapa kali. Sebenarnya saya ingin
pergi dari situ namun karena motornya menghalangi saya keluar, jadilah saya
menunggunya untuk mengeluarkan motornya duluan. Selama sesaat, saya meladeni
gertakannya dengan senyum dan sahutan yang dipaksakan. Awal mulanya, saya pikir
ia bercanda.
Keadaan semakin parah ketika
ternyata ia tak bergegas mengeluarkan motornya dan malah menuduh saya menghina
dibelakangnya. Wajahnya benar-benar memuakkan dan sinisnya bukan main. Mungkin
kita bisa bersabar dengan orang nyinyir selama 1 atau 2 menit sambil dengar
omongan kasarnya, tapi jika sudah berlangsung lebih daripada itu, emosi pun
mulai terpancing. Dengan suara yang mulai meninggi saya bertanya, “Siapa yang
bilang?”. Merasa ditantang, ia pun mendekat dengan tensi suara yang sama, “Si Fulan
yang bilang”. Ia pun maju dan menghentak bahu ke bahu saya. Sontak merasa di
serang saya pun memukul dan terjadi perkelahian singkat sebelum berhenti dengan
sendirinya tanpa ada yang memisahkan. Hanya ada satu penghuni asrama yang
berteriak di lantai dua tanpa berusaha memisahkan secara fisik.
Setelah perkelahian
singkat, si abang leting pun tetap mendesak dan menuduh saya menghina
dibelakangnya. Dan perdebatan penuh emosipun terjadi. Ia meraih tangan saya
lalu berkata dengan nada suara yang paling brengsek yang belum pernah saya
dengar, “Kamu jangan buat saya seperti anak kecil !, Ayo kita naik ke atas
tanya si fulan!”. Saya yang merasa diperlakukan seperti anak kecil dan merasa
tak berkepentingan pun tak mau naik ke atas dan berkata bahwa dialah yang mesti
membawa si fulan turun dan kita selesaikan di bawah. Lalu ia pun kembali
menghina saya. Saya mulai muak berdebat sampah di pagi hari dengan perut yang
kosong. Selanjutnya yang saya ingat, saya berteriak sekuat tenaga dengan kata
kotor yang tak pernah saya ucapkan kemanapun tepat di depan wajahnya. Sekian
detik, saya sempat melihat di wajahnya kalau ia sangat kaget saya akan
berteriak dan berkata kotor seperti itu. Akibat teriakan tersebut, banyak warga asrama lain yang terjaga dari tidur
pulasnya pagi itu. Yang terjadi kemudian adalah volume suara saya yang tak
pernah turun lagi selama membalas celotehan nya selanjutnya. Tak ada lagi batas
usia diantara kami dalam kata-kata kotor yang saya ucapkan. Sedikit demi
sedikit si abang leting pun beranjak pergi sambil sesekali membalas teriakan
saya di bawah pandangan anggota asrama di lantai dua. Mungkin ia malu. Ia
beranjak keparkiran dan pergi dengan
motornya.
Setelah suasana hati mulai
membaik, saya pun malu. Seingat saya, saya tak pernah lepas kendali beberapa
tahun terakhir. Mengingat diri yang sudah tua, seharusnya saya lebih bisa
mengontrol diri. Saya malu karena teriak seperti orang gila sampai membangunkan
sebagian besar warga asrama. Saya malu karena bertingkah seperti anak TK di
usia yang berstatus mahasiswa. Saya menyesal atas segala tingkah bodoh yang
saya lakukan tadi pagi.
Tapi dalam hati, satu hal yang
tak saya sesali adalah berkonflik dengan Si Abang Leting. Tak berkomunikasi
dengannya mungkin lebih baik.
Setelah memenuhi isi perut dan
meredam suasana hati. Hal yang saya lakukan selanjutnya adalah berjumpa si
Fulan untuk meluruskan masalah. Saya tak ingin berkonflik lagi dengan orang
lain karena omongannya. Si Fulan adalah mahasiswa tingkat awal yang juga
merupakan penghuni baru asrama. Beberapa
minggu terakhir saya sering melihatnya ngobrol dan jalan bareng Si Abang
Leting.
Niat awalnya sih mau ngomong
baik-baik. Tapi ketika teman satu kamarnya membuka pintu dan saya mendapati dia
tidur nyenyak seolah tak menyadari apa yang dia buat. Emosi saya pun kembali
naik.
“Hai Gam, kau bilang apa ke Si
Abang Leting,” semprot saya setelah memukul pinggiran bantal di samping
kepalanya.
“Apa?” tanyanya yang kaget dan
belum sepenuhnya sadar.
“Aku berantem sama Si Abang
Leting, katanya kau bilang ke dia kalau aku pernah bilang yang enggak-enggak
tentang dia,” jawab saya menjelaskan.
“Gak ada, cuma bercanda kok
ngomong sama dia”
“Terus, kenapa kau bawa-bawa nama
aku?”
Belum sempat ia jawab, lalu teman
sekamarnya yang seumuran dengan saya juga ikut bicara. Dia bilang kemarin dia
juga pernah dimarahi Si Abang Leting dan penyebabnya pun sama. Bukan hanya
kami berdua, bahkan satu orang lagi yang
terseret masalah karena omongannya. Ketika kami tanya tentang apa yang
dibilangnya ke Si Abang Leting, dia seperti takut dan keukeuh untuk tak menjawab. “cuma omongan sambil becanda kok bang,” hanya
kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya, saya dan teman saya menjadi
penceramah selama 15 menit ke depan tentang prilaku tak bertanggung jawab Si
Fulan.
Jika saya memang pernah ngomong
belakang tentang Si Abang Leting, saya mungkin tak akan berani balas
melawannya. Keberanian melawan justru timbul karena saya merasa tak bersalah.
Mungkin saya pernah berbicara tentang Si Abang Leting ke Si Fulan. Tapi itu
hanya berisi pesan supaya Si Fulan tidak perlu terlalu takut ke Si Abang Leting
waktu Ospek (Peusijuek) nanti. Gak
ada yang berani mukul-mukul waktu ospek, hanya itu. Tak ada yang benar dari
tuduhan Si Abang Leting tadi pagi.
Inilah pertama kalinya saya
berurusan dengan yang namanya fitnah. Sebelumnya pernah, namun hanya berkenaan
dengan masalah-masalah kecil atau lebih disebabkan karena salah paham.
Saya mencoba masuk dan merasa seperti
Si Abang Leting. Mencoba paham dari sudut pandangnya dan mencoba mengambil
kesimpulan dari informasi yang didapat. Bisa saja dihari itu, Si Abang Leting
dan Si Fulan memang sedang ngobrol sambil bercanda. Namun seperti kebanyakan orang,
Si Abang Leting menjadi tertarik pada candaan SI Fulan tentang bagaimana
dirinya di pandang oleh orang lain. Dalam sela tawa ia mulai memancing lebih
dalam tentang bagaimana orang lain menilainya di belakang. Saya membayangkan
bahwa dalam perspektif Si Fulan, ia merasa bangga dan senang dengan apa yang
dibicarakannya sehingga Si Abang Leting menjadi begitu tertarik. “Saya ingin SI Abang Leting haus untuk
mendengarkan omongan saya,“ mungkin itulah hasrat yang berbicara di
dadanya. Maka ia pun membesar-besarkan omongannya untuk lebih menarik
perhatian. Ia hanya menganggap ini sebagai canda yang tak ada efek sampingnya. Sedangkan
dari perspektif Si Abang Leting, ia sebenarnya tak ingin tertawa. Hatinya panas
mendengar apa yang didengar. Namun Ia paham bahwa seseorang akan berbicara
lancar jika nyaman dan tak terancam. Jadilah senyum yang dipaksakan. Dan ketika
waktunya tiba, ia akan memarahi tiga orang adik leting bau kencur yang menggosip
dibelakangnya.
Mungkin ini hanya berandai-andai,
namun setidaknya saya tidak perlu membenci Si Abang Leting ketika saya paham
bagaimana rasanya berada di posisinya. Mengetahui bahwa digosipi yang
buruk-buruk oleh orang lain sangatlah menyakitkan. Kita akan kesal setengah
mati ketika mendapati dua orang berbisik-bisik dan tertawa sambil melihat kita
bukan? Padahal bisa saja hanya disebabkan karena tali sepatu kita yang tak
terikat atau ada sedikit noda hitam di wajah.
Bermulut besar merupakan masalah
tersendiri bagi sebagian orang. Seringkali mereka merasakan kenyamanan dari
menyebarkan kebohongan. Jadi teringat ucapan Baba dalam Novel The Kite Runner. Lebih baik disakiti oleh kenyataan daripada dinyamankan oleh
kebohongan. Semoga ini menjadi pelajaran bagi kita semua.
Sumber Gambar : Kaskus.co.id
Sumber Gambar : Kaskus.co.id
No comments:
Post a comment