Suatu hari, seorang teman pernah
berkata sambil bercanda kalau saya seharusnya pergi keluar Indonesia karena
tidak mencintai produk dalam negeri. Teman saya berkata seperti itu karena
melihat dari beberapa koleksi novel di kamar, hanya ada satu novel dari
pengarang dalam negeri.
Tuduhan tersebut tak sepenuhnya
benar. Saya tetap menggunakan produk dalam negeri. Hanya saja, berkaitan dengan
hiburan, saya lebih menyukai karya luar negeri. Lah kita mau terhibur, otomatis
mau hiburan yang berkualitas bukan. Hal ini berlaku utamanya pada film, musik
dan novel.
Sebelum SMA, sebenarnya saya
masih suka sama film dan sinetron Indonesia. Tapi setelah itu, minat untuk
menonton film Indonesia berkurang bahkan hilang. Saya bukan kritikus yang
handal, tapi secara pribadi saya merasa film Indonesia kebanyakan bengongnya.
Dari segi akting para aktor/aktrisnya pun masih tidak terlihat natural.
Pernah beberapa kali, saking
hebohnya status teman di facebook, saya coba untuk kembali nonton film dalam
negeri. Yah, seringnya tak bisa menghabiskannya, atau jika habis, seringnya
keluar celetukan, ini nih yang katanya film keren? Mungkin pengalaman seperti
ini yang menghilangkan minat saya untuk menonton film dalam negeri.
Sebenarnya tak semuanya buruk.
Jika yang bermain Reza Rahardian dan Nicholas Saputra, saya pasti nonton.
Alasannya bukan karena saya lekong dan
suka sama cowok. Tapi karena saya tidak suka sama tokoh yang cuma bisa meranin
tokoh baik-baik aja. Menurut penilaian abal-abal
saya, akting kedua aktor tersebut cukup natural untuk berbagai peran dia
ambil.
Saya kurang suka dengan
aktris/aktor yang cuma bisa berakting baik baik terus, atau kalau jahat-jahat
terus. Makanya saya suka film luar negeri, karena selain alur cerita dan gambar yang keren, juga di
dukung dengan kualitas akting pemainnya. Sebagai contoh, kita bisa lihat gimana
brengseknya Leonardo DiCaprio di Film The
Wolf Of Wall Street, begitu stres nya dia di film Shutter Island, atau bahkan tak pengertian dan tak berpendiriannya
ia di film Revolutionory Road. Bagi
saya, akting itu hal yang penting dalam sebuah film selain alur cerita dan
gambar.
Sebuah film yang tokoh utamanya
baik-baik saja cenderung menggurui para penontonnya tentang nilai moral dan
maksud yang terkandung di dalamnya. Sedangkan film yang menggambarkan kesalahan
dan kekurangan bahkan kebrengsekan
selain kebaikan dari tokoh utama cenderung memberikan kebebasan bagi para penonton untuk mengambil hikmah
dari film tersebut.
Hal yang sama juga tak jauh berbeda
dengan novel dalam negeri. Saya masih ingat kalau novel pertama saya adalah
novel terjemahan karangan Khaled Hosseini berjudul The Kite Runner. Novel itu
masih meninggalkan kesan yang kuat sampai sekarang dan secara langsung membuat
saya lebih menyukai novel terjemahan. Sedangkan untuk novel dalam negeri, saya
pernah mencoba membaca dari saran dan rekomendasi dari teman. Tapi lagi-lagi –
sama seperti kasus film – novel tersebut selalu saja tidak bisa memuaskan
hasrat pribadi. Saya tidak bemaksud bilang kalau novel dalam negeri tak bagus,
karena saya akan terlihat bodoh jika mengambil kesimpulan umum dari beberapa
novel yang saya baca.
Saya yakin ada novel dalam negeri
yang bagus, hanya saja saya belum atau bahkan malas membacanya akibat
kekecewaan dari novel sebelumnya. Karena membaca novel tidak sama seperti
mendengar musik, butuh waktu membacanya. Akan sangat mengecewakan nantinya jika
sudah sampai di lembar akhir novel, kita malah mengeluh atas kekurangan buku
yang telah dibaca beberapa hari. Mudah-mudahan
sifat traumatik saya bisa hilang suatu hari nanti.
Untuk menghindari kekecewaan
dalam membaca novel, sebelum membeli atau pinjam sebuah novel saya selalu
mendasari pilihan berdasarkan dua hal. Pertama, saya menetapkan pilihan
berdasarkan Review dari orang yang sudah pernah membaca. Biasanya, sebelum
memutuskan untuk membeli sebuah buku, saya terlebih dahulu membaca ulasan dari
orang-orang yang telah membaca buku tersebut. Saya akan membaca beberapa
artikel di internet dan memutuskan berdasarkan rating dan kepuasaan dari yang
telah membaca. Jika banyak yang memberikan penilaian positif, saya akan baca.
Tapi jika banyak yang negatifnya, saya akan mencari buku lain.
Ke dua, saya memilih berdasarkan
label bestseller di cover buku. Novel-novel yang berlabel The New York Time Bestseller atau The International Bestseller biasanya menjadi pilihan saya. Namun
berdasarkan pengalaman serta penilaian subjektif dan awam, saya lebih
menomersatukan The New York Time
Bestseller. Logika di kepala saya bermain sederhana, jika buku banyak yang
baca, pasti bagus, jika tidak laku, ya kurang bagus. Namun karena saya pernah
kecewa beberapa kali dengan novel berlabel bestseller, maka biasanya saya
dahului dengan membaca beberapa review.
Lalu, bagaimana dengan pengarang?
Saya tidak biasa memilih buku
berdasarkan pengarang karena –berdasarkan penilaian pribadi- saya merupakan
orang yang mudah bosan. Kecuali buku yang berkelanjutan seperti Harry Potter, sebagus apapun sebuah
buku, saya tidak akan terlalu antusias mencari buku dari pengarang yang sama.
Selalu mencari pengarang yang berbeda-beda dalam skala waktu tertentu. Bahkan
berkaitan dengan jenis novel pun seperti itu,
selalu berganti-ganti. Terkadang Romance,
misteri, detektif, horor dan lain-lain.
Terakhir, saya memandang bahwa
hiburan adalah sebuah minat. Tak ada kaitannya dengan bentuk kesombongan dalam
memilih hiburan. Jadi, jangan pernah bertanya kepada orang lain kenapa ia suka
ini dan suka itu. Karena kita memandang memandang sesuatu dari sudut pandang
yang berbeda. Sama halnya dengan wanita yang sama namun bisa dipandang cantik
dan jelek pada dua orang yang berbeda.
No comments:
Post a comment