Membaca pemberitaan
tentang politik di negara yang baru memulai demokrasi ini sering kali membuat
hati kita panas. Sampai-sampai sebuah pesta yang kita sebut sebagai pesta
demokrasi tidak berasa lagi seperti sedang pesta. Semuanya panas, menular dari
petarung di tingkat atas sampai ke rakyat di bawahnya. Bahkan ketika pesta itu
telah berakhir, panasnya masih terasa sampai sekarang.
Berita terbaru di dunia
politik pun masih membuat panas dan terheran-heran.
Ini tentang dirancangnya undang-undang agar pemilihan kepala daerah dipilih
oleh DPRD setempat. Dalih mereka karena banyaknya uang yang mesti dikeluarkan
dalam Pilkada, banyaknya uang yang dihabiskan calon pemimpin daerah, dan adanya
konflik yang terjadi pra, ketika dan pasca pilkada dilakukan. Sebagian pihak
ada yang setuju, dan yang lain menolaknya. Sebagian yang setuju beralasan kalau
undang-undang ini sudah lama dirancang jadi tidak perlu dikaitkan dengan sakit
hatinya Koalisi Merah Putih yang kalah pilpres kemarin. Padahal merujuk pada berita di Kompas.com,
pada pembahasan mei 2014, tidak ada fraksi di DPR yang memilih mekanisme
pemilihan gubernur oleh DPR. Namun sikap Parpol Koalisi merah Putih berubah
pada 3 september 2014. Partai gerindra, Partai Golkar, PAN, PPP, PKS, dan
Partai Demokrat memilih mekanisme pemilihan gubernur, bupati, serta wali kota
oleh DPRD (Sumber). Kalau kita melihat perubahan sikap mereka yang
mendadak menyetujui dan terburu-buru mengesahkan undang-undang ini, tak usah
munafik, pasti ada sebab dan maunya. Dan saya pribadi, tidak setuju dengan rancangan
undang-undang baru ini dengan berbagai alasan
1. Alasan
konflik yang dicari-cari
Untuk alasan ditiadakannya pemilihan
langsung karena konflik, banyak pihak yang tidak setuju termasuk saya secara
pribadi. Penyelanggaraan Pilkada di banyak tempat di Indonesia terlaksana
dengan cukup sukses. Satu dua konflik dari ratusan pilkada di negeri ini tidak
bisa dijadikan alasan untuk meniadakan pilkada langsung. Lagipula terasa naif
apabila kita mengharapkan Pilkada yang damai 100 % di negara yang warganya
masih banyak tak berkesempatan sekolah tinggi dan pada negara yang masih muda
dalam melaksanakan demokrasi. Tugas merekalah untuk memperbaikinya, bukan
menghapuskannya.
2. Biaya
yang dihabiskan para calon cukup besar
Nah, ini alasan yang paling bloon yang
diucapkan politikus di senayan itu. Pantas saja banyak uang habis kalau kampanyenya
membodohkan rakyat dengan bagi-bagi uang. Bagimana bisa peduli mereka ini untuk
mencerdaskan rakyatnya kalau naiknya saja dengan memanfaatkan kebodohan rakyat.
Jangan salahkan rakyat kalau mereka meminta uang pada anda-anda calon anggota
dewan, karena anda sendiri yang memulai. Gunakanlah cara-cara kreatif dan tulus
untuk menarik hati rakyat.
3. Justru
menjadi ajang meraup uang rakyat
Tak perlu dipungkiri, bahwa karena koalisi
tanpa syarat yang digaungkan oleh presiden terpilih, atau karena dendam kekalahan semasa pilpres,
maka Koalisi Merah Putih “tak bisa” dan atau tak mau bergabung dengan
koalisinya Jokowi. Keputusan ini, secara langsung membawa dampak pada
partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Jatah pendanaan partai
mereka berkurang banyak karena tak bisa meraih kursi menteri. Ibarat orang yang
ingin bertahan hidup (bisa dibilang hidup mewah) mereka mesti memutar otak
untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Caranya adalah merancang Undang-undang
yang meniadakan pilkada langsung ini. Dengan koalisi besar, tentunya mereka bisa “menciptakan” pemimpin
daerah yang dapat diperas untuk menguntungkan mereka. Jatah uang menteri yang
hilang, tergantikan dengan jatah dari sapi perah pemimpin daerah. Nah kalau
kayak gini, peraturan itu akan menghemat anggaran negara atau malah memboros
uang negara dengan praktek suap dan korupsi?
4. Tak
ada lagi pengontrol
Ketika pemimpin daerah di pilih langsung oleh
rakyat. Maka paling tidak, ada sedikit rasa tanggung jawab mereka pada rakyat
yang memilihnya. Namun ketika dipilih oleh DPRD, tanggung jawab mereka bisa
dibilang hanya pada DPRD. Rakyat tidak bisa lagi memilih pemimpin yang sesuai
dengan kehendak mereka, tapi akan dipilih oleh anggota dewan yang sedang
memikirkan balik modal kampanye kemarin. Kalau sudah begini, yang mengontrol
pemimpin daerah itu siapa?. Karena pemimpin daerah pun tunduk pada DPRD agar
jabatannya bisa lanjut lebih lama. Bisa dibilang, DPRD pemegang remote control
dengan pemimpin daerah sebagai robotnya. Bukan lagi pengontrol sang penguasa
dengan kebijakannya.
Bisa dibilang problematika
ini berawal dari sifat serakah dan pendanaan partai yang tidak jelas. Pertanyaan
selanjutnya, jadi apa yang mesti dilakukan oleh Partai politik untuk dapat menghidupi
partainya sendiri tanpa perlu melakukan praktek korupsi dan merancang
undang-undang yang menguntungkan kelompok dan partai sendiri. Berikut adalah
pendapat yang disampaikan oleh Pak Anies Baswedan pada acara Mengadili
Anies ketika masih mengikuti konvensi capres partai demokrat. Untuk mendapatkan
kesimpulan objektif, bagi anda pendukung koalisi merah putih, lupakan dulu
fakta bahwa pak anies merupakan jubir Jokowi-Jk pada pilpres lalu. Karena video
ini terekam jauh sebelum beliau menjadi Jubir Jokowi-JK dan ketika beliau sendiri
masih mengusahakan diri menjadi Capres juga. Terakhir, solusi dari beliau untuk
menghilangkan praktek korupsi pada partai di video ini tepatnya pada menit
03:50, jadi yang tidak mau menonton dari awal silahkan dilewati.
Berhubung yang jadi Presiden sekarang Pak Jokowi , mudah-mudah bisa diterapkan oleh beliau.
Berhubung yang jadi Presiden sekarang Pak Jokowi , mudah-mudah bisa diterapkan oleh beliau.
No comments:
Post a comment