Tak bisa mengontrol emosi dengan baik. Itulah
satu hal yang sering terjadi dan sering saya akhiri dengan penyesalan. Utamanya
berkaitan dengan hubungan bersama orang lain. Sehabis marah dan bersuara tinggi,
kutukan terhadap diri sendiri berdengung di hati setelahnya. Mau orang lain
yang salah, saya yang salah, atau dari ke dua belah pihak yang salah rasanya
tak peduli, hati ini tak mau henti menyesali diri. Karena meskipun orang lain
berbuat kesalahan yang brengsek dan saya bersih tanpa salah, lepas kontrol
menyebabkan saya menyesal karena tak bisa bersikap lebih dewasa dan yang lebih
penting lagi akan banyak waktu yang saya habiskan untuk memperbaiki hubungan
dari awal.
Saya punya bawaan sikap pemarah dari kecil, dan
kebiasaan ini seringkali membawa kesulitan. Saya tak bisa menafikkan bahwa kebiasaan ini terkadang lepas kendali, tapi setidaknya pemahaman ini membuat saya lebih berusaha untuk menjaga sikap kedepannya. Tapi setidaknya kita punya
keinginan untuk merubah ya kan? Saya paham satu hal bahwa
seburuk-buruknya sikap seseorang mereka punya alasan untuk berbuat seperti
itu. Sebagai contoh:
Si A marah pada seorang sahabat yang mencuri
laptopnya. Tentunya kemarahan itu bisa dimaklumi. Si A merasa dikhianati oleh
orang yang dipercayanya. Tapi seandainya si A menilik latar belakang kenapa
sahabatnya mencuri, mungkin ia bisa lebih mengontrol kemarahan. Misalnya saja, ternyata Sang sahabat
memiliki masalah ekonomi berkepanjangan dalam keluarganya, tangis lapar adiknya
menghiasi hari-hari mereka. Ayahnya telah tiada dan ibunya hanya buruh cuci
pakaian kekiling. Dia masih sekolah dan tak ada yang mau memperkerjakannya. Dia
tak akan mendapatkan pengalaman mencuri kalau tak terpaksa. Dan ketika
pengalaman itu didapat, dia terbang karena begitu mudahnya pengganjal perut
didapat melalui jalan ini. Pada titik ini, siapa yang mesti disalahkan?
Salahkah ayahnya yang lebih cepat meninggal? Salahkah ibunya yang kerjanya
hanya menjadi buruh cuci pakaian? Salahkah adiknya yang menangis kelaparan?
Pantas kah si A marah? Jawabannya pasti ya, itu
wajar. Tapi setidaknya dengan memahami bahwa setiap perbuatan ada yang
melatarbelakangi, si A mampu mengendalikan amarah, tetap bersahabat dengan
sahabatnya dan membantu sebisa mungkin.
Contoh lain yang lebih lebih familiar.
Anda memiliki teman yang kurang ajarnya bukan
main. Sering memakai bahasa kasar dan kebiasaan menghina sana-sini. Pada suatu
hari, anda mendapatkan prestasi dan dipuji oleh semua orang. Namun teman anda
justru menghina anda dengan sebutan kutu buku, bermata empat, anak rumahan dan
banci. Pada tahap ini, anda marah karena tak bisa memaklumi kenapa ia bersikap
seperti itu. Padahal bila anda ingin memahami, sikapnya itu bisa saja disebabkan cemburu
karena tak ada yang pernah memujinya bahkan orang tuanya sendiri. Hubungan ke
dua orang tuanya bermasalah, dia sering dimarahi di rumah, dan kurang kasih
sayang dari ke dua orang tua. Selain senyum dan tawa yang didapat setelah
mengejek orang, tak ada senyum lagi yang didapatnya. Teman anda – dengan
caranya sendiri – berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan yang hilang darinya.
Bersalahkan ia? Tentu saja salah. Tapi setelah mengetahui penyebabnya,
setidaknya kita tak perlu lepas emosi karena ejekannya. Karena paling tidak
yang paling menyedihkan bukan anda, tapi dia dengan segala latar belakangnya.
Pertanyaannya, Perlukah kita marah? Saya tak bisa
menjawab pasti karena saya bukan ahlinya di bidang psikologi dan konseling.
Namun berdasarkan pengalaman, saya tak akan bilang kalau marah itu perlu.
Menurut saya marah itu wajar. Marahnya anda wajar kepada teman yang kurang
sopan karena anda lelah bekerja seharian. Namun dengan memahami bahwa orang
lain bersikap kurang baik bukan tanpa alasan, maka kemarahan kita harus lebih
dijaga. Lebih lanjut lagi, tingkat pendidikan, kedewasaan dan jabatan tentu
menjadi pertimbangan seseorang untuk mampu mengendalikan amarah dengan lebih
baik. Terasa aneh bukan jika marahnya seorang presiden sama persis dengan
marahnya tukang becak di simpang jalan, walaupun usia mereka sama? Terasa aneh
bukan jika seseorang yang sudah berusia 25 tahun berkelahi guling-guling di
tanah seperti anak SD berkelahi sehabis main bola? Terasa aneh bukan jika
mahasiswa dengan iming-iming MAHA di belakang statusnya masih saja tawuran bagaikan
siswa SMP yang tak bergelar MAHA?
Selamat mengendalikan amarah
Sumber gambar: http://www.duajadisatu.com/
No comments:
Post a comment