Tempat ini selalu ramai 24 jam.
Kata tempat mungkin kurang cocok, karena walaupun kita mengetahui kehadiran
satu sama lain dan dapat berkomunikasi satu sama lain, raga kita tak di satu
tempat. Mungkin itulah sebabnya disebut media sosial, karena fungsinya yang menyediakan media/alat untuk bersosialisasi. Media inilah yang menyatukan semua
orang hanya dengan menggerakkan jari tanpa menjejakkan kaki.
Dalam kehidupan sosial nyata,
media sosial ibarat kompleks perumahan yang ramai dengan obrolan para
warganya. Ibarat pasar yang ramai dengan para pembeli dan penjualnya. Ibarat
toko 24 jam yang selalu ada pengunjungnya. Mereka berkomunikasi, menyampaikan
ide serta memamerkan diri dengan status, komentar, foto dan video. Like/suka
merupakan apresiasi atas apa yang
ditunjukkan kepada pengunjung lainnya yang melambangkan simpati,
dukungan, rasa suka, setuju dan bermacam ekspresi lainnya. Sering kali hanya pemberi
like/suka yang tahu maksudnya apa.
Unik memang cara media sosial memberikan ruang untuk bertegur sapa, namun sayangnya kita sering lupa bahwa media
ini “tempat” berkumpulnya orang banyak.
Jika di dunia nyata penghuninya cenderung lebih menjaga privasi, di media sosial ini, kita terlalu mudah mengirim sesuatu tanpa pikir panjang. Sesuatu yang semestinya tak dikonsumsi orang banyak.
Terkadang Mereka mengirim foto
yang hanya pantas dilihat oleh muhrimnya. Padahal di dunia nyata, untuk menjemur pakaian ke teras pun tak ditanggalkannya penutup kepala. Tapi di media sosial ini, semua lelaki dapat melihat apa yang tak pantas untuk dilihat. Diperlihatkan apa yang tak pantas untuk diperlihatkan. Padahal rumah mereka beratapkan langit provinsi bersyariat. Menapak tanah Provinsi Serambi Mekkah. Tinggal di bumi Ciptaan-Nya
Bukankah media ini seperti pasar
terbuka di mana setiap orang bisa melihat apa saja?
Terkadang mereka mengirimkan
keluhan. Padahal mungkin saja teman sebelah memiliki
masalah yang lebih berat, bedanya si teman tak menuliskannya ke beranda. Si pengeluh ini seperti tak punya sahabat untuk bercerita. Seperti tak punya orang tua di dalam rumah untuk berkeluh kesah sehingga lebih memilih menarik perhatian orang banyak. Para pengunjung
media yang bermacam-macam tipikalnya menanggapi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang memberikan komentar dan ada yang diam saja memandang layar. Seseorang yang cukup bersimpati dan orang yang tengah mencari kesempatan
memberikan komentar yang manis untuk memberikan dorongan atau memikat korbannya.
Pengunjung media yang cukup memiliki masalah dengan kehidupan pribadinya bisa
saja memberikan teguran kepada pengeluh. Tetangga lain yang memiliki masalah
namun mampu menahan emosi, tanpa menuliskannya hanya berkata dalam hati, “Siapa
tanya? Penting masalah loh buat gue?” Mereka sering menulis keluhan tak
berguna, “ah, pusing banget nih”. Padahal
bisa saja diseberang sana, seseorang tengah menghitung sisa harinya di
dunia.
Bukankah media ini seperti pasar
terbuka di mana setiap orang bisa melihat apa saja?
Terkadang mereka pun berdoa. Menuliskan
doa untuk korban perang Palestina dan Mesir mungkin dapat diterima untuk
diaminkan bersama. Tapi seringnya mereka berdoa untuk diri. Seolah didalam
rumah tak ada sajadah untuk menghadap pada-Nya. Bukankah doa hanya ditujukan
pada-Nya? Bukankah ibadah yang ingin dilihat banyak orang merupakan ria? Bukankah berdoa di media ini bagaikan berdoa
dengan suara lantang di tengah ruang yang ramai, layaknya di dunia nyata?
Bukankah media ini seperti pasar
terbuka dimana setiap orang bisa melihat apa saja?
Sering pula mereka mengirim hal
remeh temeh tak penting lainnya. Seolah-olah apa yang mereka kirim merupakan
hal penting yang patut diketahui dunia. Seringkali ia melupakan manfaat dari
apa yang ia kirim. Bukankah kita mengirimnya untuk dilihat orang banyak. Sering mereka menulis hal remeh temeh seperti, “lagi di kampus nih”, padahal
bisa saja salah satu pembaca sedang berkelana ke negeri jauh entah dimana. Apa hebatnya kampusmu sehingga semua orang
perlu tau kamu di sana?
Bukankah media ini seperti pasar
terbuka dimana setiap orang bisa melihat apa saja?
Entahlah, Mungkin karena terlalu
asyik dengan dunianya dan terhalang layar digital di depannya, ia tak menyadari
bahwa ada layar besar yang dapat dilihat siapa saja.
Seharusnya kita lebih
mempertimbangkan lagi apa yang dikirim ke media ini. Karena zaman sekarang,
orang-orang baru yang ingin mempersunting, memperkerjakan atau mengenal kita menambahkan
media sosial untuk memperketat penilaian terhadap orang yang ingin dikenalnya.
No comments:
Post a comment