Sebagian dari kita tak bisa lepas
dari masa lalu. Bukannya tidak mau berkembang, tapi entah bagaimana selalu ada yang tersisa dari masa lalu untuk terus
mempengaruhi perkembangan sepanjang hayat. Sepanjang yang bisa saya ingat,
dulunya saya adalah orang yang pendiam bukan main. Dan terkadang dimasa kini,
sifat pendiam mendapati dirinya kembali untuk kesekian kali.
Saya selalu malu bukan main
ketika ummi bercerita kepada saya, tetangga atau kerabat terdekat tentang saya
dimasa kecil. “waktu ummi ke sawah dulu dan kamu masih berumur tiga tahun, kamu
selalu ummi tarok dibalai samping ladang, gak pake dijaga dan gak ada mainan
untuk menghibur. Sesekali ummi manggilin kamu yang
bengong kayak ayam sakit yang mau mati besok. dan kamu hanya liat ummi dengan
ujung matamu. Dari pagi sampe siang ummi tanam padi di sawah, kamu gak bersuara, batuk pun enggak, hahaha”, begitulah
kira-kira cerita ummi tentang saya yang selalu diakhiri dengan senyum dan tawa
khasnya.
Cerita ummi menemukan benang
merahnya dari masa SD, SMP dan SMA. Saya selalu di cap sebagai orang yang
pendiam dari setiap jenjang sekolah. Bahkan berdasarkan cerita ummi lagi, saya
pernah tidak mengucapkan sepatah katapun dalam sehari. Bawaan pribadi ini pun
diperparah dengan didikan yang sedikit “keras” dari orang tua dan bully semasa
sekolah. Keadaan memaksa saya untuk berfikir, “dari pada terlihat namun
tersakiti, lebih baik diam tapi aman”. Saya adalah tipe orang yang sensitif traumatik
dimasa lalu. Kejadian pahit dimasa lalu membuat saya menjauh dengan hal serupa
dimasa kini. Tujuan nya simple, saya tak ingin tersakiti lagi seperti dulu.
Barulah ketika masa perkuliahan
mata ini terbuka. Bukan karena keinginan pribadi, tapi karena “ditendang” atau
dipaksa oleh lingkungan. Saya tak bisa lagi bersembunyi dibalik jendela rumah
hanya karena takut pada orang yang pernah membuat mata menangis. Saya tak bisa
lagi menatap dari balik jendela hanya untuk menghindari rasa sakit di luar
sana. Dari awal kuliah hingga sekarang, saya tinggal di lingkungan asrama yang kurang lebih menganut sistem
senioritas. Mau tak mau sistem ini memberikan pengaruh besar pada saya. Saya
yang tak mudah senyum “ditendang” untuk mudah tertawa pada setiap warga asrama.
Saya yang lebih suka berdiam diri dikamar “ditendang” keluar untuk mengenal
penghuni lain jika tidak ingin “dihantak” ketika hari “penghakiman” tiba.
Begitu juga dengan lingkungan kampus. Saya dipaksa dengan lingkungan.
Setelah Dua tahun perkuliahan
yang penuh dengan “tendangan” untuk berubah. Cap-cap pendiam sudah tidak pernah
terdengar lagi. Bahkan ada sebagaian yang memberikan cap yang berlawanan dari
sebelumnya. Perubahan sudah saya anggap sebagai hal yang penting, sehingga melahirkan
keputusan untuk bergabung dengan organisasi dan komunitas tertentu. Walaupun
tidak aktif, tapi minimal ini membuka mata saya untuk terus mengenal
orang-orang dan lingkungan baru. Ya, terkadang kita merasakan manfaat dari
sebuah paksaan bukan sekarang, tapi nanti. Ibarat seorang anak yang
berterimakasih atas didikan keras dari sang ayah ketika sudah sukses kelak.
Melihat orang hebat dalam
lingkungan baru sering kali membuat hati tersadar. Bahwa orang besar hanya
mengkhawatirkan hal-hal besar dalam hidupnya, sedangkan pengeluh hanya
membersarkan masalah yang seyogianya hanya masalah kecil. Bergabung dengan
lingkungan baru mengingatkan kembali bahwa anak kecil perlu terjatuh untuk bisa
belajar berdiri, seseorang perlu salah untuk benar di kesempatan ke dua, dan
butuh masalah untuk mejadi dewasa.
Sekarang saya memahami bahwa
perubahan pasti adanya. Bedanya perubahan itu terjadi karena ditendang atau
sesuai dengan keinginan kita. Ketika ditendang untuk berubah, maka efeknya
kembali kepada kita. Ada sebagian orang ketika ditendang dia marah dan
menyalahkan si penendang (lingkungan), sebagian yang lain memilih menangis dan
menarik diri dari si penendang (lingkungan), dan sebagian yang beruntung
memilih untung terus maju dengan tendangan di bokong. Tipe orang yang terakhir
mungkin lebih bijaksana dalam menghadapi situasi. Tentunya perubahan tetap akan
terasa sulit dengan tendangan di bokong kita. Namun Ketika kita berkeinginan
untuk berubah - saya tak akan bilang bahwa semuannya lancar-lancar saja - tapi
minimal prosesnya akan lebih mudah. Hati akan terasa lebih damai, karena kita
berjalan tanpa paksaan. Tapi berjalan Karena keinginan.
Selamat berubah.
sumber gambar
www.dakwatuna.com
sumber gambar
www.dakwatuna.com
Mari kita menjadi orang "besar" dalam arti sebenarnya
ReplyDelete#pesan habis baca dua paragraf terakhir yang seruu ... :-)