![]() |
Fantasi tidak bisa lepas dengan
masa kecil. Segala sesuatu yang dibayangkan pada masa kecil, serasa akan sangat
indah ketika itu. Masa kecil, masa yang penuh imajinasi. Namun sayang nya, fantasi
itu hilang ketika kita semua beranjak dewasa. Berikut adalah sebagian fantasi
masa kecil yang berubah drastis ketika kita beranjak dewasa.
1. Pemandangan alam.
Sebagian dari kita mungkin pernah tinggal di daerah perkotaan. Di kota yang jauh dengan pedesaan. Pada masa anak-anak, ketika melihat gambar pemandangan gunung dengan sawah di
sekelilingnya, ataupun pak petani yang tengah memberi makan ayam disamping
rumahnya dekat persawahan, imajinasi kita membayangkan bahwa betapa indahya
kehidupan pedesaan. Betapa tenang dan bersahajanya kehidupan disana. Bahkan
pernah ketika penulis melihat gambar seorang “budi” yang duduk di atas kerbau
sambil meniup seruling, terbayang dipikiran tentang indahnya
seruling yang ditiup dalam suatu ekosistem persawahan. Tapi sekarang melihat di media atau berkunjung dan tinggal langsung ke pedesaan, semua tampak jelas, bahwa
gambar indah itu tidak seindah potretnya. Desa sekarang identik dengan cuaca
yang panas, petani identik dengan miskin dan kelelahan setiap hari. Muka kusut
ketika melihat hasil panen. Tak seindah yang gambar pemandangan. Tak seindah
yang dibayangkan.
2. Kerukunan antar kelompok.
Waktu kecil, penulis paling suka dengan pelajaran PPKN dengan segala acuan moralitas dan
tuntutan bernegara. Mungkin sebagian dari pembaca juga merasakan hal yang sama. Pada pelajaran PPKN, kita pernah belajar tentang kerukunan antar umat beragama, antar suku dan ras. Kita kagum ketika
mengetahui bahwa betapa rukun dan damainya Indonesia dengan segala perbedaanya.
Pada halaman
pertama Atlas yang kita miliki, biasanya tergambar 5 macam agama (waktu itu)
beserta hari besar dan tokoh agama
masing-masing. Kita membayangkan begitu
berwibawa`dan serasinya mereka ketika digandengkan bersama.
Selain itu, penulis sering melihat gambar-gambar kebudayaan pada masing-masing daerah di Indonesia
pada sebuah buku (Buku Pintar). Waktu itu, penulis kagum ketika melihat
2 orang laki-laki dan perempuan begitu bersahajanya denga pakaian adat
masing-masing. Kesimpulan yang saya ambil, ke 27 provinsi yang ada di Indonesia
ini memiliki masyarakat dan kebudayaan yang baik.
Namun, pada
kenyataannya, imajinasi tak seindah kenyataannya ya kan?. Sering kita lihat di
media, antar sebelah kampong aja bisa saling lempar batu. Bahkan di kampong
saya ada yang ngeluarin pendapat “beda keyakinan, potong leher” (wah semudah
itu ya nyawa melayang). Sekali lagi, hidup gak seindah masa kecil.
3. Cita-cita yang tinggi.
Nah, kalau yang ini semuanya ada kan?
Kebanyakan dari
kita, waktu kecil ketika di Tanya sama cek gu tentang cita-cita jawabannya
polos dan bermacam-macam. “pengen jadi presiden buk”, “pengen jadi astronot
pak”, bahkan ada yang dengan diplomatisnya akan menjawab “pengen jadi orang
yang berbakti pada bangsa dan Negara”.
Imajinasinya
gini, yang bercita-cita jadi presiden, guru, polisi dan sebagainya biasanya
berpikir betapa mulia dan gagahnya menjadi orang yang dicita-citakan. Guru
dengan gelar pahlawan tanpa jasanya memukau anak-anak tentang betapa mulianya
guru dalam mencerdaskan bangsa ini. Presiden dengan kedudukannya yang tinggi,
memancing anak-anak untuk ingin mendapatkannya juga. Polisi dengan seragamnya
yang gagah membuat anak-anak turut ingin memakainya.
Sekali lagi,
ketika dewasa, kita sadar bahwa kenyataan tak seindah imajinasi masa kecil. Di
media, guru dengan gelar pahlawan tanpa jasanya, sering telibat berita
kekerasan sampai pelecehan seksual terhadap murid. Presiden dengan kedudukannya
yang tinggi, di nilai hanya diam saja ketika rakyatnya bersiteru. Dan polisi
dengan seragamnya yang gagah, terlihat memalukan ketika melakukan pungutan liar
di tengah jalan.
4. Fantasi Superhero
Khayalan ini yang
barang kali semua anak pasti membayangkannya. Dulu, setiap habis menonton Power
Ranger di TV, penulis selalu membayangkan untuk menjadi salah satu dari lima
superhero itu (yang berwarna merah). Mungkin anda dulu juga berimajinasi untuk
menjadi seorang yang super kuat dan membawa kebaikan di muka bumi ya kan?. Bahkan
kita, terkadang meniru tokoh-tokoh tersebut dalam bermain dan keseharian masa
kecil kita. Yang jelas, yang laki-laki akan membayangkan dirinya tampan, dan
yang perempuan membayangkan dirinya cantik. Hampir sebagian kita, memiliki
tokoh idola atau bayangan idola yang baik dan gagah menurut bayangan kita
masing-masing. Tapi seperti halnya umpama “Hidup ini tak seindah Film”, semakin
kita dewasa kita sadar bahwa semuanya hanya indah di film saja.
Telaah lebih lanjut.
Mungkin sebagian dari pembaca yang membaca tulisan ini berfikir bahwa pikiran saya terlalu pesimistis. Mungkin
anda akan bertanya, “jadi maksud anda menulis ini apa?, bukankah dengan kita
menghayalkan dan membayangkan sesuatu
maka kita akan tau apa yang akan kita lakukan nantinya” atau mungkin anda akan bertanya “lalu apakah
bermasalah kalau dunia tak seindah imajinasi anak kecil? Bukan kah sudah
semestinya kita menanamkan nilai-nilai positif mereka? Bukankah itu lebih baik
daripada memberi fakta pahit tentang dunia kepada mereka?”. Namun disini saya disini tak ingin membuat kita semua pesimistis, lebih lanjut penulis hanya ingin memberikan pandangan pribadi yang menjelaskan kenapa optimisme bisa hilang disekitar kita.
Lama berfikir, saya menyimpulkan,
kita dan lingkungan kita sekarang panen pesimis. Dan itu mempengaruhi
pengambilan keputusan kita di masa depan.
Seorang anak kecil mungkin
berkata, “bu, saya mau bercita-cita jadi presiden”. Dan biasanya, orang tua
yang mendengar bukannya memberikan dukungan tapi malah melarang dan berkata,
“udah, jangan kejauhan mimpinya, ambil aja S1 selesai itu jadi PNS kayak ibu.
Aman”. Kata-kata ini menjadi lumrah dalam kondisi sekarang ini. Bukan hanya
orang tua. Lingkungan kita juga seperti itu.
Dilain pihak, media memainkan
perannya dalam membentuk karakter pesimis pada para penikmatnya. Setiap hari
kita disuguhkan dengan berita negatif. Pembunuhan, korupsi, pemerkosaan dan
lain-lain. Bahkan Anies Baswedan sebagai salah satu tokoh pendidikan nasional pernah menyatakan, "Salah satu cara termudah untuk menumbuhkan sikap pesimisme adalah menonton berita-berita di televisi, begitu banyak berita baik di negeri ini, tapi mereka hanya menyiarkan yang buruk-buruknya saja". Optimisme bahkan hanya tumbuh di film-film dan sinetron masa
anak-anak. Sehingga timbul pernyataan, “hidup ini tak seindah film india”. Kembali
ke masa lalu, dan seandainya Media masih di bungkam oleh Pak Harto, mungkin
para pewarta berita akan menyiarkan berita positif tentang negeri ini. Berita tentang
Indonesia yang swasembada beras, limpahan hasil laut yang banyak, kerukunan
antar umat beragama yang betul-betul terjaga dan lain-lain. Sehingga kita selaku warga Negara berbangga
menjadi bagian dari bangsa ini.
Badai pesimisme ini merupakan tanggungjawab kita semua. Media, pemerintah, lingkungan sosial, bahkan kita sendiri. Tapi apa yang mesti kita lakukan?. Jawabannya, sebelum memperbaiki sesuatu diluar kita, perbaiki dulu diri sendiri. Setelah diri kita baik, barulah kita menyebarkan kebaikan dan optimisme ke orang sekitar.
Badai pesimisme ini merupakan tanggungjawab kita semua. Media, pemerintah, lingkungan sosial, bahkan kita sendiri. Tapi apa yang mesti kita lakukan?. Jawabannya, sebelum memperbaiki sesuatu diluar kita, perbaiki dulu diri sendiri. Setelah diri kita baik, barulah kita menyebarkan kebaikan dan optimisme ke orang sekitar.
Didunia yang berkembang
pesat seperti sekarang ini, kita semakin punya pilihan. Dulu informasi yang kita dapat hanya disuapi
oleh televisi dan Koran. Baik dan buruknya informasi, tergantung dari apa yang
diberi. Sekarang, ketika dunia hanya
sebatas “ketikan jari tangan”. Kita bisa mencari informasi positif yang bisa
menumbuhkan rasa optimis kita sesuka hati. Tinggal ketik dan informasi akan
didapat. Di dunia yang serba mudah ini, Malaskah kita “mengetuk jari”?
No comments:
Post a comment