“Hati-hati pegangnya
ya bang”, celoteh Mutia kepada abangnya. Tangan mungilnya selalu
bergetar selama memegang sepeda baru itu. Memang bukan merek terkenal,
tapi mutia selalu berkata kepada kawan-kawannya, “yang penting baru
kan?”. Agus merasa adiknya lebih bijak dibandingkan kawan seumurannya.
Dengan senyumnya yang meyakinkan, agus hanya berkata “Ia tenang dek, gak
akan jatoh kok”.
Mereka berdua adalah
sepasang anak yatim. Dua anak yang terpaut umur cukup jauh. Mutia
berumur 11 tahun sedangkan Agus berumur 22 tahun. Dalam keluarga itu
mereka hanya bertiga. Hanya mereka berdua dengan ibunya. Mutia sekarang
duduk di bangku kelas 6 SD sedangkan Agus sudah tamat SMA empat tahun
yang lalu. Bermodalkan ijazah SMA, Agus sekarang bekerja sebagai penjaga
toko Market dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibu mereka memiliki usaha
menjual lontong dan sarapan pagi lainnya di depan rumah meraka. Sang
Ayah meninggal 7 tahun yang lalu karena kecelakaan di jalan raya.
****
Sore itu, sambil
mengajari adiknya bersepeda di sebuah jalan yang sepi. Agus teringat di
masa lalu, ketika dia belajar bersepeda dengan ayahnya. Waktu itu ia
duduk di bangku kelas 1 SD. Cukup jauh berbeda sekarang dengan Mutia
yang baru belajar bersepeda kelas 6 SD. Agus terkenang
di masa lalu bagaimana usaha dagang ayahnya yang laku keras. Bagaimana
dulu mereka makan enak, menu makan selalu berbeda setiap harinya. Agus
teringat Tentang bepergian 6 bulan sekali bersama ayah ibunya. Tentang
Monas, Taman Mini Indonesia Indah, Ragunan, Taman Safari bogor, makam
Cut Nyak Dhien di Sumedang dan banyak tempat lainnya yang sekarang hanya
menjadi kenangan. Ah, sunggguh masa yang indah.
Tepat pada catur wulan
pertama kelas 1 SD, Agus mendapat peringkat satu dikelasnya.
Keesokannya saat pulang kerumah, Agus merengek kepada ayahnya, “Yah,
besok beliin Agus sepeda ya, Agus kan dapet Ranking satu”. Agus
tak perlu menunggu lama. besoknya sepeda baru itu sudah teronggok di
ruang tamu. Masih berplastik dan sungguh “baru” harumnya. Agus girang
luar biasa. Agus lari menelusuri rumah mencari sang ayah. Dipeluknya
sang ayah yang tengah makan siang. Air mata senang mengalir di wajahnya.
“Sungguh nyaman memeluk ayah”, pikirnya waktu itu. Kenyamanan yang
sungguh dirindukan. “terima kasih ayah”, ucapnya diantara bulir
kesenangan. Sang ayah membalas dengan belaian halus di kepala. “belajar
yang rajin lagi ya”, kata ayah memberi amanah.
****
Agus terjaga dari
lamunannya, tak ia sadari ternyata adiknya jatuh. Darah sedikit keluar
dari lutut adiknya. “tuh kan bg, udah dibilang pegangin, jatoh kan,
ngelamun aja kerjaannya”, kata mutia marah. “maaf ya dek, gak sengaja
abg”, seru agus sambil mengusap darah di lutut adiknya. Sepeda itu lecet
sedikit, sebuah sepeda yang merupakan usaha kerasnya selama setahun.
Sebuah sepeda hasil dari penghematan di sela-sela biaya hidup mereka
bertiga. Sebuah sepeda yang baru ada setahun setelah mutia merengek
meminta. Waktu itu Sungguh hati agus ikut menangis mendengar rengekan
mutia, “bang, temen-temen udah ada sepeda semua, belikan mutia satu bg,
mutia capek mesti numpang terus sama kawan ke sekolah, mutia malu bg,
mutia diejek terus sama temen-temen”. Mata agus berkaca-kaca mendengar
rengekan adiknya.
Agus bukan menangis
karena dia sudah terlalu lelah menjalani hidup untuk membeli sepeda baru
yang tak terjangkau harganya. Bukan itu. Agus juga bukan menangisi
sikap kawan mutia yang tek peka terhadap kawannya. Bukan itu. Agus
menangis karena sungguh masa kecil mutia berbeda dengan dirinya. Masa
kecil – yang sepuluh tahun lalu – Agus tak akan berpikir akan menimpa
adiknya. Ketika sepedanya dulu menjadi sebuah kebanggaan Agus di depan
kawan-kawannya, justru sepeda menjadi sumber rasa malu Mutia pada
teman-temannya. Ketika sepedanya dulu merupakan sebuah kejutan
membahagiakan Agus esok harinya, justru sepeda merupakan penantian
setahun penuh harap adiknya. Dalam hati Agus bertanya, “kenapa mesti
terjadi pada anak sekecil ini?”
Ah, Agus betul-betul
teringat bagaimana hari ini sungguh sama dengan hari ketika ia belajar
bersepeda dengan ayahnya. Waktu itu Dia sedikit memarahi ayahnya ketika
terjatuh. Dan sama seperti dirinya saat ini, sang ayah menyunggingkan
senyum untuk meyakinkan anaknya.
****
Agus masih ingat jelas
bagaimana ia dan ibunya sempat berdebat tentang membeli sepeda baru
bagi mutia. Mengingat keadaan ekonomi keluarga, Sang ibu ngotot untuk
cukup membeli sepeda bekas saja, “yang pentingkan masih bagus dan bisa
di pakek gus, lagian kan kita gak punya banyak uang buat beli sepeda
baru” ucap Ibu. Namun Agus tetap saja keras kepala, dia hanya ingin
adiknya merasakan hal yang sama ketika dia dulu dibelikan sepeda baru.
Biar dia yang lelah siang malam, asal sang adik menampakkan senyum
anak-anaknya. Bukan senyum pengertian layaknya orang dewasa. Terasa
sesak di dada ketika adiknya tidak mendapatkan kebahagiaan seperti ia
dulu. Dan seperti itulah, sejak saat itu Agus menyisakan sebagian dari
gajinya menjaga toko untuk membeli sepeda baru dan mahal. Sama seperti
sepedanya dulu. Sama seperti ayah membelikan sepeda baru padanya dulu.
****
Waktu itu, Amanah
serta sepeda baru yang diberikan ayah, memacu semangat Agus untuk
belajar. Segala bentuk prestasi telah diraih agus. Dari SD hingga SMP,
Agus selalu menduduki peringkat 3 besar di kelasnya. Berbagai bentuk
perlombaan telah dimenanginya. Mulai dari lomba cerdas cermat, Olimpiade
Sains tingkat Provinsi, serta juara Bulu Tangkis Antar sekolah pernah
dimenanginya. Kegembiraan agus pun berlanjut ketika ia diterima masuk
SMA favorit di Provinsinya. SMA itu telah menjadi incaran agus ketika
duduk di kelas 1 SMP.
Masih teringat jelas
dalam memori Agus, tentang bagaimana kisah bahagia ini berakhir. Tepat
nya pagi hari, jam 10 pagi ketika ulangan jam ke dua baru di mulai. Wali
kelasnya, Ibu nurmawati masuk kelas, menengok sekilas kepada Agus, lalu
berbisik sejenak kepada guru yang menjaga ujian waktu itu. Berdeham
sejenak lalu lalu berkata, ”Agus tolong keluar sebentar, ibu mau
berbicara”. Suasana kelas sungguh sunyi senyap, waktu itu agus bertanya
dalam hati, perbuatan buruk apa yang telah dilakukan hingga ia dipanggil
wali kelas. Tepat di depan kelas, bu Nurma memberi kabar buruk itu.
Agus hanya terdiam. Ia sungguh tak tau mau bilang apa. Hatinya tak
karuan. Ada yang menyangkut di tenggorokannya. Dadanya sesak. Sungguh
sesak untuk cukup mengeluarkan bulir di matanya. Agus berpikir kenapa
begitu tiba-tiba. Kenapa mesti ayahnya. Dan yang selanjutnya Agus
menangis sekuat tenaga. Tangis bodoh yang selalu terlihat sama diwajah
anak seumurannya. Dia tak peduli dengan teman-teman sekelas yang
mengintip di balik jendela. Dia tak peduli kata-kata penenang yangdi
ucapkan sang guru. Sungguh dia tak mau peduli apapun saat itu. Yang
hanya ia peduli saat ini adalah ayahnya. Wajah tenangnya.
Nasehat-nasehatnya. “Ayaaah” hanya iru yang diucapkan sepanjang
tangisannya. Dia tak percaya senyum pagi hari tadi merupakan senyum
terakhir dari ayahnya.
****
Lebih dari setengah
jam agus mengajari mutia bersepeda, Loni -teman sebaya mutia- lewat
dengan senyum mengembang diwajahnya. Loni sedang belajar berkendara
peseda motor, di belakangnya terdapat seorang laki-laki dewasa yang
sepertinya sang abang. “Mutiaa, duluan yaa”, sapa loni di atas sepeda
motornya. Mutia tidak membalas, dia hanya tersenyum. Senyum yang diikuti
pandangan panjang pada sepeda motor loni sampai di ujung persimpangan.
Agus hanya memandang
senyum mutia, senyum ketertarikan terhadap kendaraan beroda dua itu.
Senyum seorang anak kecil yang baru memiliki sepeda baru keluaran lama.
Agus sungguh tak mengerti hidup ini. Sepeda merupakan kendaraan terbagus
di masa kecilnya. Namun sepertinya hal itu itu tidak berlaku lagi jaman
sekarang. Agus sudah cukup berkorban untuk membeli sepeda baru itu. Agus
sudah cukup kurus menahan keinginan jajan saat jam kerja. Namun
sepertinya hidup tak mengenal kata cukup bagi orang-orang disekitarnya.
Dan Agus ingin berkata pada mutia “cukup sepeda ini sajalah dulu”. Namun
agus paham, apa yang bisa diharapkan pada seorang anak-anak yang penuh
dengan fantasi masa kecilnya?.
Lalu sedikit melenguh
dan mengeluarkan nafas panjang, agus berucap dalam hati, “Salahkah saya
yang tidak mampu mengikuti perkembangan zaman? Salahkah waktu yang
terlalu mengambil Ayahku terlalu cepat? Atau salahkan zaman yang
menancapkan pedal gas terlalu dalam?
Agus sungguh tak tau jawabannya. Dan kita semua pun tak tau.
Dulu sang ayah sempat
berkata, “Gus, biar ayah aja yang susah, kamu belajar ya, belajar yang
rajin, biar gak kayak ayah yang capek-capek kerja seperti ini”. Namun
sekarang, kata-kata itu telah berlalu. Amanah itu hilang ditanggal sang
ayah hilang dari bumi ini. Kata-kata itu kini berganti, “biar abang aja
yang susah , mutia belajar yang rajin ya”
No comments:
Post a comment