Penulis sebenarnya pihak yang termasuk mengidolakan Jokowi. Jadi
tulisan ini tidak bermaksud memojokkan beliau. Hanya saja penulis
merasa sudah mulai “penat” dengan berbagai pihak yang terlalu
mengagung-agungkan jokowi untuk memimpin negeri ini. Padahal Jakarta pun
baru setahun di pimpinnya.
Kalau bukan jokowi siapa lagi?
Pertanyaan di atas merupakan judul artikel yang ditulis oleh bang Elde: kalau bukan jokowi siapa lagi
Pertanyaan tersebut merupakan hal yang wajar atas
krisis kepemimpinan di Indonesia. Pertanyaan di atas timbul sebagai
bentuk kekecewaan berbagai pihak terhadap pemimpin
yang tidak tegas dan lebih mementingkan pencitraan seperti sekarang
ini. Masyarakat merasa kecewa bahwa pihak-pihak yang telah mencalonkan
diri menjadi presiden merupakan orang yang memiliki sejarah kelam masa
lalu, hanya pintar nyanyi dangdut, dan bahkan hanya sibuk menulis
nyanyian bodoh di twitter. Dan penulis pun sama kecewanya dengan mereka.
Namun pertanyaan penulis adalah kenapa mesti
jokowi?. Kenapa tidak tokoh-tokoh lain yang sama berintegitasnya utuk
dijadikan presiden? Kenapa hanya beliau yang sering dielu-elukan. Dalam
hal ini tiga tokoh seperti Anies Baswedan, Dahlan Iskan dan Mahfud MD
mengapa diabaikan?
Anies baswedan dikenal sebagai tokoh muda yang peduli terhadap bangsa dengan program Indonesia mengajarnya dan beliau
telah banyak mendapatkan penghargaan internasional. Dahlan Iskan dengan
gaya kepemimpinan di BUMN nya yang unik. Sering melalukan aksi-aksi
yang nyentrik dan merakyat dalam berbagai kegiatannya sehari-hari.
Mahfud MD merupakan mantan ketua MK. Beliau di kenal sebagai tokoh yang
memiliki intergritas tinggi, meiliki track record bersih dan sering
digandang-gadang menjadi calon presiden alternative. Ketiga tokoh
tersebut sama baiknya dengan jokowi. Meiliki hati dan ketegasan dalam
memimpin, telah melakukan hal banyak untuk Negara dan yang paling
penting adalah “merakyat”
Namun kenapa hanya Jokowi?
Bukankah ketiga tokoh diatas sama baiknya dengan
pak jokowi. Bukankah mereka memimpin dengan hati. Berikut adalah
beberapa analisis penulis untuk menjawab pertanyaan di atas.
1. Jokowi datang di waktu yang tepat
Pada pemilu presiden 2004, rakyat bosan dengan
pemimpin yang tidak tegas. Rakyat butuh pemimpin yang terlihat tegas dan
berbeda total dengan pemimpin sebelumnya. Itulah sebabnya SBY yang
terlihat tegas dari luar (meskipun tidak) mengalahkan Megawati dan calon
presiden lainnya waktu itu. Rakyat butuh pemimpin yang berbeda sebagai
bentuk kekecewaan terhadap pemimpin sebelumnya.
Nah, itulah yang terjadi pada jokowi. Beliau hadir
dengan nuansa yang berbeda dari pemimpin kita sekarang. Munculnya wajah
jokowi menjadi angin segar bagi masyarakat yang telah lama bosan dengan
politik pencitraan selama ini. Jokowi hadir dengan nuansa yang berbeda
dengan SBY. SBY dengan politik pencitraan, sedangkan Jokowi yang siap
menghadapi tantangan. SBY yang terima informasi “asal bapak senang” dari
bawahan, dengan jokowi yang siap kotor turun ke jalan. Ah, sungguh
waktu yang tepat.
2. Jokowi datang di tempat yang tepat
Sungguh pak jokowi datang di tempat yang tepat.
Beliau di calonkan menjadi gubernur di Jakarta, ibukota Indonesia. Kita
tahu bahwa berita tentang Jakarta selalu menarik.. Segala yang berkaitan
dengan Jakarta tak habis-habisnya di bahas. Termasuk dalam hal pilkada
Jakarta. Pencalonan jokowi bahkan tidak hanya menjadi isu lokal Jakarta,
bahkan telah menjadi isu nasional. Wajahnya akan terpampang di seluruh
pelosok negeri. Semua warga negeri menjadi kenal beliau. Ini karena
pemberitaan tentang pilkada Jakarta. Tentang media yang banyak berkantor
pusat di Jakarta. Tentang pilkada Jakarta yang di kupas habis-habisan
oleh media Jakarta.
Seandainya jokowi mencalonkan menjadi Gubernur di
Papua Barat atau bahkan di Aceh, ah sungguh tak ada yang peduli. Ini
semua karena tempat yang tepat. Karena Jakarta.
3. Jokowi datang pada kondisi yang tepat
Jokowi telah dianggap sebagai pribadi pembawa
perubahan. Perubahan yang sangat di inginkan masyarakat Jakarta.
Masyarakat selalu mendukung beliau dan tidak menyukai lawan politik
beliau. Termasuk pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu, baik di
Jakarta atau Pemerintah pusat Indonesia. Sudah kita ketahui bersama
bagaimana jalannya pilkada Jakarta waktu itu. Bagaimana Jokowi yang di
keroyok oleh gabungan partai-partai yang berkoalisi. Kita tahu bagaimana
jokowi di serang dengan Black campaign oleh
lawan politiknya. Dan disinilah politik belas kasihan memainkan
peranannya. Masyarakat akan lebih simpati terhadap pihak yang di serang,
pihak yang di sakiti. Sama dengan peristiwa megawati mejjadi wakil
presiden karena “disakiti” lawan politiknya. Dalam hal ini Jokowi
diserang dan disakiti lawan politiknya. Jokowi menang karena dipengaruhi
simpati masyarakat.
Ketiga alasan di atas telah cukup menjadi alasan untuk menjadikan Jokowi sebagai media darling.
Tiga tokoh yang tak beruntung
Berbeda dengan jokowi, ketiga tokoh yang telah
penulis sebutkan tidak memiliki keberuntungan seperti itu. Anie
Baswedan, Mahfud MD dan Dahlan iskan tidak di tempat, waktu dan kondisi
yang tepat. Sehingga tidak ada alasan bagi media untukmenjual mereka kepada masyarakat. Mereka kurang populer karena mereka bawahan SBY. Mereka kurang populer karena menjabat
sebagai rektor dan pengirim guru-guru ke kampung. Mereka kurang
popular, karena masyarakat menilai lembaga yang mereka pimpin tidak
memberikan manfaat langsung pada masyarakat. Mereka tidak popular karena
bidang atau lembaga yang mereka pimpin yaitu lembaga hukum (MK), usaha
Negara (BUMN) dan pendidikan (Rektor universitas) tidak popular dimata
masyarakat dibandingkan pemerintah daerah yang langsung berinteraksi
dengan masyarakat. Mereka kurang popular, karena jabatan mereka tidak
mendukung system blusukan. Meraka tidak popular karena mereka bukanlah media darling. Mereka
tidak popular karena meraka tidak laku di jual media, tidak peduli
seberapa berintegritasnya mereka, dan tak peduli seberapa besar
pengabdian mereka bagi bangsa ini. Tak peduli. Karena mereka tak laku di
jual.
Pada akhirnya, penulis sama sekali tidak bermaksud menyudutkan pak Jokowi. Hanya saja waktu
kita masih beberapa bulan lagi sebelum pemilu 2014. Mari kita lihat
tokoh-tokoh lain yang mungkin lebih baik. Tidak hanya merujuk pada media
yang hanya peduli kalau berita mereka laku di jual.
No comments:
Post a comment